Refleksi Sikap Hidup dalam Hadih Maja Aceh

A. Pendahuluan

Sebagai sebuah masyarakat yang berbudaya, masyarakat Aceh mengenal berbagai macam tradisi sastra, baik tradisi sastra lisan maupun tradisi sastra tulis. Sebagaimana halnya dalam masyarakat lain di Nusantara, tradisi sastra lisan diduga lebih dahulu berkembang daripada tradisi sastra tulis.

Di Aceh, secara khusus, tradisi tulis ini baru berkembang sejak datangnya Islam. Hal ini dibuktikan melalui pemakaian aksara Arab-Aceh (aksara jawoe) dan aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam berbagai naskah klasik Aceh yang terselamatkan dan tersimpan di berbagai museum dan tempat penyimpanan naskah di dalam dan luar negeri. Persentuhan dengan tradisi Arab, Persia, dan Melayu diduga tidak hanya pada aspek kepercayaan, tetapi juga pada aspek lain dalam bidang budaya, termasuk tradisi sastra. Karena itu, genre sastra yang berkembang di Aceh hingga saat ini tidak jauh berbeda dengan tradisi sastra yang berkembang dalam masyarakat tersebut, khususnya masyarakat Melayu. Malah, banyak sekali karya sastra yang berkembang saat ini merupakan saduran dan memiliki hubungan interteks dengan tradisi sastra dalam dunia Melayu dan Islam. Itu sebabnya, barangkali, kehidupan masyarakat Melayu secara umum selama ini sering diidentikkan dengan kehidupan yang islami.

Secara umum sastra Aceh diciptakan dalam bentuk puisi (puisi sanjak, atau narit meupakhôk). Hal ini, misalnya dapat dilihat dalam hikayat, neurajah (mantra), h’iem (teka teki), narit/hadih maja (ungkapan/peribahasa), pantôn (pantun), liké (zikir), nalam (nazam), nasib (kisah), dô da idi (nyanyian buaian), dan ca-é (syair). Tradisi sastra dalam bentuk prosa hanya dikenal dalam cerita rakyat, haba jameun (Abdulllah, 1991). Uraian berikut ini akan difokuskan pada hadih maja  sebagai sebuah tradisi sastra lisan yang masih berkembang di Aceh.

Hadih maja dibentuk dari akar kata hadih ‘hadis’ dalam hal ini merujuk pada perkataan, pernyataan, ungkapan verbal; dan maja ‘moyang wanita’ merujuk pada nenek moyang, orang tua-tua. Dengan demikian, hadih maja dapat dimaknakan sebagai ‘perkataan, pernyataan, ungkapan-ungkapan verbal yang berasal dari nenek moyang’. Dalam tradisi sastra Melayu secara umum disebut ‘pepatah, ungkapan, dan peribahasa’.

Sebagai sebuah tradisi lisan, peribahasa atau ungkapan tradisional ini sering sekali merupakan “kalimat-kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang”  (Cervantes dalam Dananjaya, 1997:28). Sebaliknya, Russel (dalam Dananjaya, 1997:28) menyatakan bahwa peribahasa atau ungkapan tradisional merupakan “kebijaksanaan orang banyak, kecerdesan seseorang”. Itu sebabnya, barangkali, dalam kehidupan sehari-hari tidak semua anggota masyarakat pemilik peribahasa atau ungkapan tradisional dapat menguasai, dalam makna menghafal dan menggunakannya secara tepat seluruh peribahasa yang ada dalam masyarakat tersebut.

Padahal, menurut Dananjaya (1997:32), sebagaimana halnya dengan folklor lisan lainnya, peribahasa atau ungkapan tradisional dapat digunakan untuk berbagai fungsi sosial, seperti sistem proyeksi, alat pengesahan pranata atau lembaga kebudayaan, media pendidikan bagi anak-anak atau generasi muda, alat untuk memaksa atau mengawasi kepatuhan anggota masyarakat terhadap norma tertentu, alat untuk mengkritik seseorang yang melanggar norma-norma tertentu (the impersonalization of authority, menurut Alan Dundes), serta alat untuk menaikkan gengsi seseorang dalam sebuah masyarakat karena menguasai hal tersebut secara aktif.

B. Hadih Maja dan Sikap Hidup Orang Aceh sebagai Bagian Subetnik Melayu

Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari komunitas Melayu di Nusantara ini, masyarakat Aceh tentu saja memiliki pola hidup dan karakteristik tertentu, baik yang bersifat universal, regional,  maupun lokal. Sikap hidup ini secara umum menyangkut dengan pandangan atau visi serta pola hubungan keseharian manusia dengan Tuhan, tradisi pemerintahan, hubungan antaranggota masyarakat dan lingkungan sekitar.

Hadih maja ‘peribahasa atau ungkapan’ sebagai sebuah produk budaya lisan dalam masyarakat Aceh mungkin saja merefleksi pola hidup atau karakteristik masyarakat Aceh. Karena, pada awalnya hadih maja  ini lahir berdasarkan kecerdasan seseorang dalam memaknai pengalaman hidup dan kearifan-kearifan kelompok atau individu tertentu yang ia temui dalam kehidupan sehari-hari dalam kurun waktu yang panjang. Selanjutnya, ia menciptakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dimaksudkan sebagai sarana proyeksi ‘prakiraan hal yang akan terjadi’, pengesahan pranata budaya, pendidikan, dan fungsi-fungsi lain sebagaimana diuraikan di atas.

1)  Visi dan Sikap Hidup sebagai Makhluk Ciptaan Tuhan
Sebagai masyarakat muslim, masyarakat Aceh secara umum sangat percaya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kekuasaan Allah tak berbatas. Ia yang menghidupkan seseorang, Ia yang memberi rezeki dalam kehidupan, dan Ia pula yang akan mematikan seseorang. Karenanya, banyak sekali hadih maja dalam masyarakat Aceh yang berkait dengan kemahakuasaan Tuhan Allah sebagai khalik dan keterbatasan manusia sebagai makhluk. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam contoh berikut.
•    Kullu nafsin geubeuet bak ulèe, nyan barô tathèe tatinggai dônya
‘Kullu nafsin dibacakan di kepala, baru kita sadari harus meninggalkan dunia’
Hadih maja di atas lazimnya digunakan untuk menyindir seseorang yang semasa hidupnya sangat pongah, sombong, sehingga bertingkah seakan-akan ia akan hidup selamanya, ia berkuasa di atas dunia ini. Saat ia sakratulmaut, orang-orang sekitar akan mengucapkan ungkapan tersebut sebagai sindiran, cibiran, bagi yang bersangkutan dan sebagai peringatan bagi yang mendengar atau masih hidup. Hadih maja ini relatif semakna dengan ungkapan memakai dunia berganti-ganti, yang hidup sesarkan mati, dengan mati itu berganti-ganti.

Hadih maja lain yang juga sering digunakan untuk mengkritik kesombongan atau mendidik seseorang untuk tidak sombong, tidak takabur ialah“ujob teumeu’a ria teukabo, di sinan nyang le ureueng binasa”, ‘ujub, sumah, ria, takabur, di situ yang banyak orang binasa’.  Hadih maja ini secara tersirat mengungkapkan bahwa ada kekuasaan lain yang mengatur kehidupan manusia, Allah. Karena itu, jangan sombong, jangan takabur karena hal itu akan membuat seseorang celaka.


•    Allah bri, Allah boh

Allah yang beri, Allah yang ambil (buang)
Hadih maja ini digunakan untuk menyadarkan, mengingatkan seseorang bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Manusia hanya diwajibkan berusaha sebab “meunyo meugrak jaroe ngon gaki, na raseuki bak Allah Ta’ala”, ‘kalau bergerak tangan dan kaki, ada saja rezki dari Allah taala’. Atau “langkah raseuki, peuteumuen, mawot, h’ana kuasa geutanyo hamba”, ‘langkah, rezki, pertemuan, maut, di luar kekuasaan kita (hamba Allah).

2) Tradisi Pemerintahan dan Kepemimpinan dalam Masyarakat
Konsep kehidupan yang religius (islami) tersebut juga menjadi ciri sistem pemerintahan dan kepemimpinan dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Sistem pemerintahan yang ideal dalam masyarakat adalah pemerintahan yang bernuansa islami, bersyariat, dalam hal ini syariat Islam. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum dalam masyarakat diserahkan pada ulama, dalam hal ini disimbolkan dengan Syiah Kuala, Syech Abdurrauf Assingkili. Adat dapat dilanggar, tetapi hukum (hukum Islam) tidak dapat seenaknya ditafsirkan, diputarbalikkan. Karena itu, peran ulama dalam masyarakat cukup baik, patut dicontoh dan dijadikan kawan dekat. Kedekatan seseorang dengan ulama akan membawa berbagai efek positif, sekurang-kurangnya dapat belajar berdoa.

Hal ini antara lain terungkap dalam hadih maja berikut.
•    Nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng meunama
‘Negeri bersyarak, kebun berpagar, sawah berpematang, orang bernama’
•    Adat bak Poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phan, reusam bak Lakseumana
‘Adat pada Raja almarhum, hukum pada (ulama) Syiah Kuala, kanun pada Puteri Pahang, resam pada Laksamana’
•     Adat bak Poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phan, reusam bak Bentara
‘Adat pada Raja almarhum, hukum pada (ulama) Syiah Kuala, kanun pada Puteri Pahang, resam pada Bentara (orang kaya)’
•   Adat meukoh reubông, hukôm meukoh purieh, adat jeuet beuranggahoe takông, hukôm h’an jeuet baranggahoe takieh
‘Adat memotong rebung, hukum memotong tangga bambu, adat dapat seenaknya didobrak, hukum tak dapat seenaknya dikiaskan’
•   Tameungon ngon banggi rôh tameucandu, tameungon ngon teungku jeuet meudu’a
‘Berkawan dengan pecandu jadi pecandu, berkawan dengan ulama jadi/dapat belajar  berdoa’

Hadih maja di atas juga digunakan sebagai sarana atau media pengesahan pranata sosial atau kebudayaan. Konsep pranata di sini mungkin saja merujuk pada sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi, adat-istiadat, norma-norma yang mengatur pola perilaku,  dan perlengkapan tertentu untuk memenuhi kebutuhan orang per orang atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
•    Adat bak Poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phan, reusam bak Lakseumana
‘Adat pada Raja almarhum, hukum pada (ulama) Syiah Kuala, kanun pada Puteri Pahang, resam pada Laksamana’
•     Adat bak Poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phan, reusam bak Béntara
‘Adat pada Raja almarhum, hukum pada (ulama) Syiah Kuala, kanun pada Puteri Pahang, resam pada Bentara (orang kaya)’
•   Adat meukoh reubông, hukôm meukoh purieh, adat jeuet beuranggahoe takông, hukôm h’an jeuet baranggahoe takieh
‘Adat memotong rebung, hukum memotong tangga bambu, adat dapat seenaknya didobrak, hukum tak dapat seenaknya dikiaskan’

Persoalan adat-istiadat, kanun, dan resam dalam masyarakat diatur oleh raja, pemimpin, yang dalam hal ini disimbolkan dengan Poteu Meureuhôm, raja yang sudah almarhum, atau isteri raja yang dalam hal ini disimbolkan dengan Putroe Phang, ‘Puteri Pahang’, atau oleh Lakseumana, laksamana, pemimpin angkatan perang, atau béntara, orang-orang kaya. Adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam ungkapan, “boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt”,  ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’. Ungkapan ini mengisyaratkan anjuran agar   seseorang, khususnya generasi muda, untuk tidak menggugat ataupun merusak adat-istiadat yang berkembang dalam masyarakat karena adat tersebut merupakan warisan nenek moyang, datôk nini.  Hal ini diperkuat dengan ungkapan lain “gadoh aneuk meupat jeurat, gadoh adat ho tamita”, ‘hilang anak ketahuan kuburnya, hilang adat ke mana dicari’.  Namun demikian, bila keadaan tidak memungkinkan seseorang melaksanakan persyaratan keadatan pada suatu peristiwa, ia dibenarkan menyesuaikan, menafsirkan, dan memenuhi persyaratan tersebut sesuai dengan kemampuannya. Tidak demikian halnya dengan masalah hukum, dalam hal ini hukum Islam: adat jeuet beuranggahoe takông, hukôm h’an jeuet baranggahoe takieh, ‘adat dapat seenaknya didobrak, hukum tak dapat seenaknya dikiaskan’
Dalam ungkapan yang lain diungkapkan bagaimana idealnya sebuah sistem kepemimpinan dijalankan dalam masyarakat Aceh. Hal ini, misalnya, dapat ditemukan dalam ungkapan “raja dônya h’ana meugantoe, raja nanggroe meutuka-tuka”, ‘raja dunia tak pernah berganti, raja negeri bertukar-tukar’. Ungkapan ini mengisyaratkan tidak ada kekuasaan yang abadi di dunia ini. Semuanya berganti, kecuali kekuasaan Allah, raja dônya, raja dunia. Karena itu, tidak semua orang dapat dipilih menjadi pimpinan dalam masyarakat, “meuri-ri urot taikat beunteueng, meuri-ri ureueng tabôh keu raja’, ‘tumbuhan jalar tertentu yang digunakan sebagai pengikat kayu pagar, orang tertentu yang dipilih sebagai raja’.

Dalam hadih maja yang lain disebutkan bahwa seorang pemimpin yang baik bukanlah orang yang “tayue jak di keue jitôh geuntôt, tayue jak di likôt jisipak tumèt, tayue jak bak  teungoh jimeusingkèe, pane patôt jeuet keu pangulèe”, ‘kita suruh berjalan di depan ia kentuti (orang yang dibelakang), kita suruh berjalan di belakang ia tendang tumit (orang yang di depan) kita suruh berjalan di tengah ia sikut (orang yang di samping), manalah patut dijadikan pimpinan”. Hadih maja ini mengingatkan anggota masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih seorang pimpinan. Pimpinan yang ideal haruslah yang tidak mengentuti, melupakan rakyat, bawahan, orang-orang di belakangnya; tidak menendang tumit, menghalangi, memotong, mencegah kemajuan rakyatnya; tidak menyikut, menimbulkan ketidaknyamanan rakyatnya.

Di samping itu, pimpinan beserta rakyat yang dipimpin harus memiliki tatakrama atau manejemen kepemimpinan yang baik. Rakyat dan pemimpin harus mencegah berbagai sifat yang merugikan masyarakat sebagaimana terungkap dalam ungkapan “paléh tanoh cot teungoh kureueng asoe, paléh inong jiteumanyong ‘oh jiwoe lakoe, paléh agam sipat kuwah bileung asoe, paléh rakyat jimeuupat rata sagoe, paléh raja jideungo haba baranggasoe”, ‘celaka tanah tinggi di tengah kurang hasilnya, celaka isteri bertanya saat suami pulang, celaka laki-laki menyukat kuah menakar isi, celaka rakyat menyebar gosip di tiap sudut negeri, celaka raja mendengar berita dari semua orang’.

3) Pola Hubungan Antarmanusia dan Lingkungan
Pranata sosial lain yang juga tak kalah pentingnya dianjurkan untuk dipertahankan adalah perlunya keharmonian hubungan antarorang dalam kehidupan sehari-hari.  Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan “ôn balék baloe, ôn panjoe tasumpai plôk; geutanyo sabé keudroe-droe, peue pasai tameuantôk”, ‘daun balek baloe, daun randu penyumpal kaleng; kita bersaudara, apa pasal saling berantuk’. Kalau saat ini kita mendengar atau melihat ada ‘antuk-antukan’ di Nanggroe Aceh Darussalam, itu mungkin karena generasi saat ini sudah sangat cepat terprovokasi dan terkotak-kotak, “ôn calô ôn beuradén, duek sama-sama até laén-laén”, ‘daun calô daun beuradén, duduk sama-sama hati lain-lain’. Padahal, untuk hal-hal yang negatif dalam masyarakat, sejak dahulu sudah ada ungkapan, “buet gob bèk tapadôli, meuseuki buet syèdara; buet gob bèk tarindu, meukeumat iku h’an ék tahila”, ‘jangan hiraukan pekerjaan orang lain, meski itu pekerjaan saudara sendiri; jangan rindukan pekerjaan orang lain, terjepit ekor tak sanggup dilepaskan’. Malah, dalam ungkapan lain diingatkan “peuturôt prang ancô nanggroe, peuturôt putroe malèe raja, peuturôt napsu malèe h’an lé, peuturôt haté badan binasa”, ‘diturutkan perang hancur negeri, diturutkan putri malu raja, diturutkan nafsu tak malu lagi, diturutkan hati badan binasa’.

Kadang-kadang hadih maja  digunakan sebagai media untuk mengkritik perilaku anggota masyarakat. Contoh hadih maja yang berisi kritik tersebut sebagai berikut. “Bèk tameutarôh bak leumo bukông, bèk tameusabông bak manok buta”, ‘jangan bertaruh pada lembu tak bertanduk, jangan menyabung dengan ayam buta’. Ungkapan ini digunakan untuk mengkritik seseorang yang terlalu berharap datangnya mukjizat dan bantuan dari orang lain karena hal itu akan sia-sia. Ungkapan yang senada dengan ini antara lain “bèk tamewot lam bruek reuhung, bèk tameuglueng bak tanoh gla”, ‘jangan mengaduk (sesuatu) dalam tempurung bocor, jangan merentangkan kaki pada tanah licin’. Untuk mengkritik seseorang yang pekerjaannya tidak sesuai dengan penampilan atau ilmunya sering digunakan ungkapan “meumisè bèk sangka tupè, meujanggôt bèk sangka udeueng, meuseureuban bèk sangka leubè, h’an droeneuh thèe pancuri ureueng”, ‘bermisai jangan disangka tupai, berjenggot jangan disangka udang, bersorban jangan disangka lebai, tak kita sadari itulah pencuri orang’.

Untuk mengkritik pemberian pekerjaan kepada orang yang tidak tepat digunakan ungkapan “h’ana patôt tapeupatôt, gaki untôt taboh geunta; h’ana layak tapeulayak, jaroe supak tabôh gaca”, ‘yang tak patut dipatutkan, kaki bengkak diberi genta; yang tak layak dibuat layak, tangan supak diberi pacar’. Untuk mengkritik seseorang (rakyat atau pimpinan) yang lupa diri sering digunakan ungkapan “lagèe manok galak keu iku, bak jimeusu h’an jikira”, ‘seperti ayam suka pada ekornya, suaranya besar tak terkira’. Kadang-kadang, untuk mengkritik seseorang yang sangat ambisius untuk menjadi pimpinan digunakan ungkapan “mabôk keu bubayang droe, ureueng ka datôk meulumpoe jeuet keu raja”, ‘mabuk dengan bayangan sendiri, orang seusia datuk-datuk masih bermimpi jadi raja’.

Di samping itu, dalam masyarakat Aceh banyak sekali peribahasa atau ungkapan yang digunakan sebagai sarana proyeksi atau prediksi hal yang akan terjadi. Apalagi bila seseorang atau sekolompok orang melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang. Orang-orang tersebut umumnya diingatkan dengan berbagai kemungkinan buruk yang akan diterima bila hal tersebut dipaksakan juga untuk dilakukan. Hal ini, misalnya dapat dilihat dalam ungkapan “peuturôt até maté, peuturôt mata buta; peuturôt angèn putôh taloe, peuturôt keumudoe angèn nyang ba” ‘diturutkan keinginan hati mati, diturutkan keinginan mata buta; diturutkan angin putus tali, diturutkan kemudi angin yang bawa’. Ungkapan ini digunakan untuk menasihati seseorang atau sekelompok orang agar tidak mengikuti hawa nafsu karena hal itu diduga, diperkirakan, akan mendatangkan musibah, kemudaratan, bagi yang bersangkutan. Dalam hal ini, kemudaratan ini dinyatakan dalam wujud kematian, kebutaan, dan kehilangan kendali. Maksud pribahasa ini relatif berdekatan dengan  “bèk tameungon ngon si paléh, hareuta habéh tanyoe binasa”, ‘janganlah berteman dengan seseorang yang  jahat/nakal, harta habis kita binasa’. Dalam ungkapan yang kedua ini ada anjuran agar seseorang atau sekelompok orang tidak memilih seseorang yang dianggap nakal atau jahat sebagai teman akrab karena sang teman akan membuat ia miskin dan menderita. Contoh ketiga, “tamsé ureueng jidrop lé pacat, meungkon jimeukap keupeue cit jiwa”, ‘tamsil orang dihinggapi pacet, kalau bukan untuk digigit mengapa pula dipeluknya’  menyiratkan kekhawatiran, kecurigaan, akan ada kejadian yang fatal bila seseorang salah memilih teman dekat, apalagi bila teman tersebut merupakan orang yang tak dikenal, orang asing. Orang asing yang sok akrab diduga menyimpan satu niat jahat yang akan mencelakakan, membuat seseorang menderita.
Selanjutnya, dalam contoh keempat dan kelima berikut terkandung anjuran agar seseorang tidak malas berusaha karena kekayaan dan kesenangan hidup tidak akan diperoleh secara serta-merta, tidak akan jatuh dari langit. Ia harus dicari. “Meunyo h’ana tauseuha panè atra rhôt di manyang, meunyo na tauseuha adak h’an kaya taduek na keuh seunang’, ‘bila kita tidak berusaha mana mungkin harta jatuh dari ketinggian; bila kita berusaha meski tak kaya hidup pastilah menyenangkan’. Setiap usaha diduga akan membawa manfaat positif bagi seseorang, asalkan ia mengedepankan kejujuran, bukan kebohongan. Kejujuran akan berakhir pada kemujuran, kebohongan akan berakhir pada kemalangan, “teupat keu pangkai, akai keu laba; sulét keu pangkai, kanjai keu laba‘(bila) kejujuran dijadikan modal, akal akan menjadi laba/untung; (bila) kebohongan dijadikan modal, malulah yang akan menjadi laba’.
Dalam hadih maja yang lain dapat juga dilihat bagaimana sikap hidup masyarakat dalam masalah perkawinan. Hal ini, misalnya, terungkap dalam “meunyo ie, ie bit; meunyo bu, bu bit; meunyo inong, inong Aceh beukeubit-keubit”, ‘kalau air, air putih; kalau nasi, nasi putih; kalau isteri, haruslah benar-benar perempuan Aceh’. Atau, “taeu boh kayèe bak watèe meubungong, takalon inong bèk saja rupa; carong inong ceudah jimeungui, beujroh peurangui malém agama”, ‘kita lihat putik kayu saat berbunga, kita lihat isteri tidak hanya pada rupa;  isteri yang cerdas pandai berhias, bagus akhlaknya, alim agamanya’. Dua hadih maja di atas menyiratkan bagaimana idealnya seorang isteri dalam sistem perkawinan di Aceh. Seorang isteri yang ideal hendaklah: berasal dari suku sendiri, cantik, pandai, bagus akhlaknya, dan alim. Sebagai masyarakat yang agamis, konsep pemilihan jodoh dalam masyarakat Aceh yang mengutamakan kealiman, kemuliaan akhlak, kebagusan keturunan, dan kecantikan rupa tersebut dalam pandangan penulis mirip dengan apa yang terpakai dalam masyarakat Melayu secara umum,  konsep pemilihan jodoh sebagaimana disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.
Wallahu a’lamu bissawab.

C. Penutup

Hadih maja, peribahasa atau ungkapan tradisional, yang berkembang dalam masyarakat Aceh digunakan untuk berbagai kepentingan sebagaimana lazimnya fungsi pemakaian folklor dalam masyarakat tradisional. Ia juga secara tidak langsung merefleksikan sikap hidup dan pola pemikiran masyarakat Aceh dalam hubungannya dengan Tuhan, sistem kepemimpinan, dan hubungan antarorang dalam masyarakat. Karena itu, pemahaman yang mendalam tentang hadih maja sebagai sebuah tradisi sastra lokal dan tradisional yang masih terpakai dalam masyarakat Aceh akan sangat membantu kita dalam memahami nilai-nilai moral, konsep pemikiran, dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan masyarakat Aceh sebagai salah satu subetnik Melayu.  Semoga saja interpretasi personal dan sederhana ini dapat membantu kita memahami secara lebih bijak saudara-saudara kita yang selama ini kita anggap aneh, keras, dan maunya ‘perang’ saja. Semoga.

Rujukan

Abdulllah, Imran Teuku. 1991. Hikayat Meukuta Alam. Jakarta: Intermasa.

Dananjaya, James. 1997. Folklore Indonesia: ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hurgronje, C. Snouck . 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru.

M.K., Hasyim, dkk. 1969. Himponan Hadih Madja. Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.

Serambi Indonesia. 1994. Apit Awe. Banda Aceh.

Zaidan, Abdul Rozak dan Dendy Sugono (Editor). 2003. Adakah Bangsa dalam Sastra? Jakarta: Progres bekerja sama dengan Pusat Bahasa Depdiknas.

Tinggalkan komentar